Dinginnya malam kemarin aku dan beberapa teman habiskan di Kaliurang. Bermodal waktu luang, kami semua menyempatkan hadir untuk sekadar datang dan bermain. Awalnya kami main entah-namanya-apa, yang pasti ada peran pembunuh, polisi, dokter, dan rakyat jelata. Dipenghujung malam hingga pukul 2 dini hari, kartu poker menjadi teman malam yang indah.
Keesokan harinya, which is hanya 4 jam dari situ. Jam berputar kembali, rutinitas harus dijalani. Agenda untuk hadir pada acara pelepasan siswa asing di bandara pada pukul 08.30 batal karena taulah sendiri bulan puasa telah merubah jam bangun menjadi tidur dan tidur menjadi bangun. Sedih, tapi sudahlah. Alhasil kembali ke Kota Yogyakarta dengan teman yang syukurnya hobi bicara dari awal hingga akhir membuat perjalanan kembali itu tidak sekadar perjalanan pulang saja. Cerita baru, pengalaman baru. Itu yang aku suka.
Sesampainya di Yogya, kusempatkan untuk mampir ke LIR cafe mengambil perangkat kerja yang kutinggal, laptop. Langsung meluncur ke Godean dan tidak lupa mampir warung dulu untuk update apa yang umi lakukan. Alhasil, wajah murung itu nampak jelas diwajahnya. Namun apa daya, mata dan tubuh sudah teriak untuk dipejamkan. Maka biarkanlah aku tidur sejenak.
senyap ...
"Ini jam 12, cepet ke warung. Umi mau pergi!" suara dari balik ganggang handphoneku. Bergegas dengan sekadar berbusana piyama aku memutuskan untuk mengganti shift jaga warung siang itu. Sayangnya otak belum sepenuhnya bangun, pembeli pertama hampir saja missed perhitungan. Yasudahlah, pengalaman. Untungnya adik datang dan memberikan sedikit waktu untukku menyesuaikan dengan dunia.
Setelah 2 jam, aku memutuskan untuk pulang dan bersih-bersih kamar yang penuh dengan debu dan keusangan. Tata letak barang yang membosankan menuntutku untuk merubahnya pula. Taraaaa, posisi kamar baru tanpa debu kudapat. Ditengah kesibukan membersihkan, adik datang dari warung dan mengatakan, "Cepet ke warung mbak, Umi nampaknya sedih, sepertinya sesuatu terjadi." Cepat-cepat kuberpakaian dan tancap gas. Aku datang umi!
Kecut nian wajah ibuku yang satu ini. Hingga adzan berkumandang akhirnya dia bercerita. Tangisnya mengucur deras dan tak ku biarkan aku melakukan hal yang sama. Tidak, tidak untuk saat ini. Mendengar apa yang dia ceritakan perihal kondisi keuangan kami sedikit menohok diriku. Kembali, otakku berputar cepat. Mencari alternatif solusi terbaik entah itu apa. Tetap berusaha tenang walau hati ini terus berdebar. Berdebar bukan sekadar cinta remaja belaka, tapi antara bertahan hidup.
Malamnya, 2 jam yang lalu setelah menunaikan ibadah terawih, kami memutuskan untuk berkunjung ke yang-namanya-tidak-perlu-saya-sebut, beliau adalah seorang pengacara dan konsultan hukum. Dibuka dengan, lagi, tangisan ibu saya. saya hanya duduk menyimak. miris rasanya hati ini. Setelah selesai mencurahkan isi hatinya, waktunya Bapak Pengacara bertutur kata; lugas dan jelas. Banyak hal yang dia sampaikan. Intinya tetap tenang dan tidak perlu takut dalam menghadapi masalah seperti ini asalkan tau hukum (nah itu masalahnya!). Tapi satu hal penting yang saya pribadi garis bawahi adalah bahwa posisi saya yang bukan anak kecil lagi. Saatnya saya urun tangan terlibat dalam permasalahan ini. Beliau sebut ini sebagai 'magang'. "Semakin keras mbak Azka membenturkan diri dengan masalah, akan semakin mudah menyelesaikan masalah yang datang." Sejak tadi malam, disaksikan oleh bintang dan dinginnya malam. Saya bertekad untuk berpikir tenang dalam menghadapi setiap dilema dan dewasa dalam bersikap.
Rasa-rasanya baru tadi pagi saya berbincang perihal betapa indahnya hidup ini pada kehidupan anak muda. Tuhan, semoga suatu hari nanti menemukan seseorang yang menerima saya apa adanya, bisa diajak senang maupun susah (hilang fokus).
Intinya, apapun masalah yang dihadapi, tetaplah tersenyum dan bersyukur akan apapun yang sudah berhasil dilalui. Yakin, kalo yang ini juga akan 'baik-baik saja' (mulai nyanyi). SEMANGAT BUAT SIAPAPUN YANG LAGI ADA MASALAH! LO KAGA SENDIRIAN KOK! SERIUS!
Comments
Post a Comment