Beberapa
waktu belakangan ini saya cukup lelah dengan pemberitaan di berbagai
media terkait dengan mobil kepresidenan Pak Jokowi yang mogok ketika
melakukan lawatan ke Kalimantan Barat. Kelelahan saya bukan sebuah
bentuk pembelaan atas Presiden, melainkan betapa media saat ini pilih
kasih dalam menyuguhkan berita-berita yang penuh akan 'hiburan', tetapi
kehilangan substansi. Perlu teman-teman ketahui, bahwa kunjungan
Presiden ke Kalbar ialah untuk membagi PMT (Pemberian Makanan Tambahan) yang
merupakan salah satu program pemerintah untuk meningkatkan gizi pada ibu
hamil dan balita.
Saya tidak pernah memahami betapa
pentingnya kesadaran gizi dan kesehatan bagi seorang wanita hingga saya
bekerja saat ini. Iklan layanan masyarakat di televisi yang muncul
sebanyak hitungan jari dalam sebulan, edukasi kesehatan yang nyaris
belum pernah saya dapatkan selama mengenyam sekian tahun pendidikan,
papan dan baliho ajakan hidup sehat yang kurang menarik perhatian mata,
atau bahkan ajakan ibu saya yang pada akhirnya saya kembalikan dengan
pertanyaan, "Memang umi melakukannya?". Menurut dugaan saya, hal-hal di
atas berkontribusi terhadap terbatasnya pemahaman saya akan pentingnya
isu kesehatan.
Seperti kita tahu terdapat hubungan erat
antara kondisi ibu dengan kualitas kesehatan anak. Yang saya maksud
dalam hal ini adalah kondisi ibu terhadap tinggi badan balita yang
dilahirkan. Ibu yang tidak sehat-kurang gizi-memiliki potensi melahirkan
balita dengan tinggi badan di bawah rata-rata tinggi badan balita
seumurnya, atau stunting. Dampaknya adalah balita yang terlahir stunted memiliki kecerdasan yang lebih rendah dibandingkan balita normal. Selain itu ketika dewasa, balita yang stunting lebih
mudah menderita penyakit tidak menular. Semua hal di atas dalam jangka
panjang berpengaruh terhadap produktivitas sebagai tenaga kerja.
Kegiatan kesehatan saat melaksanakan KKN di Kab. Supiori, Papua tahun 2016
Dokumentasi oleh: Luthfan Fauzan
Dampak Stunting bagi Kehidupan Anak
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan (2014), balita yang mengalami stunting memiliki
kemungkinan 5 persen lebih rendah untuk menempuh pendidikan tinggi
serta 5 bulan lebih lama untuk menamatkan sekolah. Studi ini diperkuat
oleh paparan Bank Dunia tentang malnutrisi kronis (2016) di mana anak
yang tidak mengalami stunting memiliki 33% kesempatan yang lebih besar luput dari kemiskinan ketika dewasa. Lebih dari itu, penurunan angka stunting dapat meningkatkan PDB sebesar 4-11% di negara-negara Asia dan Afrika.
Lalu
muncul pertanyaan berikutnya yaitu bagaimana kondisi kesehatan di
Indonesia saat ini. Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, sebanyak
37,2% balita mengalami stunting. Lebih ironisnya lagi, pada 20 persen rumah tangga termiskin, 1 dari 2 balitanya stunting.
Tidak hanya menjadi masalah pada keluarga miskin saja, tetapi 1 dari 3
balita pada 20 persen rumah tangga terkaya di Indonesia pun mengalami stunting. Oleh karena itu, persoalan stunting adalah
permasalahan nasional yang perlu diatasi karena tidak hanya menyangkut
orang miskin saja, melainkan penduduk secara keseluruhan.
Terdapat beberapa faktor yang tanpa kita sadari berpotensi menyebabkan lahirnya balita stunting. Pertama,
faktor internal yang bersumber dari kekurangan gizi pada ibu hamil
seperti protein dan zinc. Sedangkan faktor eksternal yang bersumber dari
kesehatan lingkungan seperti ketersediaan air bersih dan sanitasi aman.
Selama ini kita hanya melihat makanan sehat sebagai satu-satunya faktor
yang dapat menjamin kelahiran anak yang sehat. Ternyata tidak, asupan
makanan sehat dan bergizi hanya menyumbang 30% dari kemungkinan anak
terlahir tidak stunting, sedangkan sisanya berasal dari faktor-faktor lain termasuk kesehatan lingkungan.
Isu Stunting Perlu Perhatian Bersama
Hal
ini menjadi perhatian akademisi, peneliti, dan pemerintah saat ini
tidak peduli latar belakang pendidikan atau profesinya sebagai nutriotionist, politisi,
atau ekonom sekalipun. Dalam beberapa kesempatan diskusi maupun seminar
yang saya datangi seperti CSIS (Lembaga riset) maupun Bank Dunia, isu stunting selalu menjadi highlight untuk
dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sayangnya, isu
se-penting ini tidak banyak diketahui oleh teman-teman seumuran saya
yang merupakan bakal calon Ibu. Hal ini terbukti dari kejadian yang saya
lihat beberapa waktu lalu ketika mengunjungi teman yang baru saja
melahirkan. Betapa teman saya yang sedang memberikan ASI ekslusif tidak
memedulikan asupan gizi yang dia makan saat itu dengan alasan "tidak
suka."
Harapan saya sederhana melalui tulisan ini yaitu
berbagi kekhawatiran kepada teman-teman, para pembaca, calon ibu, dan
mungkin pria yang berencana untuk menikah dan memiliki anak, bahwa
ketika kita berbicara tentang kesehatan kita saat ini, maka kita
berbicara tentang kesehatan anak kita di masa yang akan datang.
Terkhusus
bagi adek-adek yang akan terjun ke lapangan untuk melakukan Kuliah
Kerja Nyata (KKN), perlunya melihat isu ini sebagai kebutuhan dasar
masyarakat sebelum berpikir tentang pembangunan gapura, jembatan, dan
apalah namanya. Coba pikirkan hal-hal kecil dimulai dari kebiasaan hidup
sehat, kebersihan lingkungan, ketersediaan air bersih dan sanitasi.
Bahkan, ide sesederhana pengadaan sandal jepit swallow dan poster
ajakan membersihkan tangan di setiap rumah mungkin menjadi solusi yang
benar-benar bisa memberikan manfaat kepada masyarakat.
Comments
Post a Comment