Skip to main content

Posts

Back to write!

If you notice, 2017 was the last time I wrote journals. It was early time I am working, perhaps when personal spaces were abundant. Yet time flies so fast, and here I am at the end of 2022. There is nothing to look back on besides my post on the mainstream social media channel. It feels dry. Looking at the pictures without context. Though they are beautiful, they provide a lack of reflection whatsoever. As there are no pages to recall, stories may fade away. At the age of the so-called identity crisis, let's make it a go, creating my own space to share moments and thoughts, so it won't go away. So, what do you wanna hear first?
Recent posts

Lawatan Presiden ke Kalbar, Tidak Sebatas Mobil Mogok

Beberapa waktu belakangan ini saya cukup lelah dengan pemberitaan di berbagai media terkait dengan mobil kepresidenan Pak Jokowi yang mogok ketika melakukan lawatan ke Kalimantan Barat. Kelelahan saya bukan sebuah bentuk pembelaan atas Presiden, melainkan betapa media saat ini pilih kasih dalam menyuguhkan berita-berita yang penuh akan 'hiburan', tetapi kehilangan substansi. Perlu teman-teman ketahui, bahwa kunjungan Presiden ke Kalbar ialah untuk membagi PMT (Pemberian Makanan Tambahan) yang merupakan salah satu program pemerintah untuk meningkatkan gizi pada ibu hamil dan balita. Saya tidak pernah memahami betapa pentingnya kesadaran gizi dan kesehatan bagi seorang wanita hingga saya bekerja saat ini. Iklan layanan masyarakat di televisi yang muncul sebanyak hitungan jari dalam sebulan, edukasi kesehatan yang nyaris belum pernah saya dapatkan selama mengenyam sekian tahun pendidikan, papan dan baliho ajakan hidup sehat yang kurang menarik perhatian mata, a

Wakwaw dan Keadilan Takdir

Air mengalir mengisi buih kehidupan Orang datang bersama tuk bersenang Aku, duduk sendiri dibagian taman Memandang hamparan orang berlalu lalang Ciptaan Tuhan beraneka macam Bagi sebagian, kemudahan adalah cobaan Bagiku kesulitan adalah tantangan Aku, sekadar diam dan bergumam Kulihat dari kejauhan setitik harapan Mereka bercengkerama menikmati waktu luang Sekadar datang dan memberikan sapaan Apa daya mereka pergi dan menghilang Aku sekadar onggok kayu kosong telanjang Tidak berhias kostum dan pernik dunia fana Namun bukankah semua bermodal kesamaan peluang? Lalu mengapa mereka tak ada bagiku walau sepatah kata Kelam kian nasibku, Tuhan Akankah kumiliki seorang teman?

Kosong

Diantara kejaran waktu yang disembah dan diagungkan Duduk diantara mereka masyarakat yang mengejar harapan Bekerja ke tempat perantauan untuk menemukan kebahagiaan Diantaranya lelah dalam diam Mungkin berpikir akan apa yang akan mereka lakukan Karena berbicara tidak memberikan keuntungan Itukah dunia ku saat ini? Disaat kekosongan tergambar dimata mereka Disaat alat elektronik adalah satu-satunya teman Teringat olehku hidup beberapa tahun silam Ketika 7 jam perjalanan bukan sekadar perjalanan Melainkan teman dan keluara baru Itukah dunia ku saat ini? -Azka Azifa Dokumentasi oleh Chris Laikos

Sore

Tepat pukul 4.30 waktu senja di lapangan universitas kerakyatan. Daun berguguran terhempas angin sore itu. Langit memudar merona, tanda malam kan segera tiba. Namun, bagi sebagian orang momen ini menjadi waktu tepat untuk dinikmati. Sekadar berlari bersama kawan terdekat, bersama mereka yang terkasih, atau sekadar momen membunuh waktu. Bagiku, sore adalah waktu spesial yang Tuhan sisihkan untukku merefleksi diri setelah seharian berkegiatan. Senjaku istimewa beberapa waktu belakangan. Semakin banyak yang mencintai dan bersedia sekadar datang tuk merasakan syukur kenikmatannya. Bagi sebagian orang, agenda ini buang waktu belaka. Duduk menatap alam yang tidak menuntut apa-apa untuk dikerjakan. Bagi kami, kehidupan bukan sekadar bekerja mengejar target hidup ‘keduniaan’. Bagi kami, Tuhan ciptakan semua keindahan untuk manusia nikmati keberadaannya. Cerita ini tidak akan khusus mengulas tentang sore, tentang kecintaanku terhadap senja dan buratan merah di langit sore hari. Namun,

Syukur

Menjadi bagian dari Republik Indonesia saat ini adalah sebuah anugrah. Betapa tidak, perjalananku setiap pagi beberapa semester terakhir tidak pernah mendapat ancaman penembakan di jalan, bom bunuh diri, atau sekadar pria tidak bertanggungjawab datang menggoda. Belum, belum pernah. Melalui headline news sebuah media internasional tadi pagi, bagaimana perasaan mereka anak-anak korban penembakan kaum-tidak-berperikemanusiaan yang berhasil meloloskan diri untuk kembali ke bangku sekolahnya. Bisa dibayangkan berat langkah mereka hanya sekadar keluar dari rumah, apalagi untuk memasuki ruang kelas yang ada. Berita lain bercerita hal yang tidak jauh berbeda. Disaat mereka antusias dalam bazaar murah khas rakyat, berondongan peluru terdengar lantang. Alhasil, kecerian bubar seketika. Kapan mereka dapat hidup tenang dan bahagia? Malam ini, di sela kegabutan liburan semester 3, masih bisa kusempatkan menulis beberapa paragraf atas apa yang ada dipikiran ini. Sedangkan mereka, mungkin

Benang Kusut Itu, Lagi.

Beranjak dari persiapan ujian esok hari. Seperti ritual biasanya, duduk bersama Ibu dan sekadar menikmati sore. Bertukar kisah akan kehidupan yg selalu nikmat untuk didiskusikan. Sedih. Kisah ini kembali datang seakan nasi bagi tubuhku. Cerita khas rakyat, layaknya telah menjadi norma umum pada masyarakat. Sebuah keluarga jatuh meringkuk pada lubang yang bernama utang. Tragedi. Tebingnya tinggi menjulang. Terlalu tinggi bagi mereka untuk merayap dan keluar. Kebiasaan dan kepasrahan telah menjadi teman. Sebalnya, tetap saja berulang kali mereka jatuhkan diri ke lubang yg sama. Ironi. Pinjaman yg begitu besar sekadar terbang dan melayang. Berhamburan. Bukan untuk investasi jangka panjang atau apapun yg menguntungkan. Sekadar kebutuhan sesaat yang tak menghasilkan keuntungan. Lalu, bagaimana mereka kan lepas dari jeratan setan? Sudah seharusnya pemerintah sadar bahwa anak mereka masih jauh dari namanya 'kesadaran literasi keuagan'. Disisi lain, dosa pula bagi kita yg tlah